Pengantar Hukum Perburuhan di Indonesia

PENGANTAR HUKUM PERBURUHAN DI INDONESIA

  1. Pengertian Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan

Hukum perburuhan atau ketenagakerjaan (labour law) adalah bagian dari hukum berkenaan dengan pengaturan hubungan perburuhan baik bersifat perseorangan maupun kolektif. Secara tradisional, hukum perburuhan terfokus pada mereka (pekerja/buruh) yang melakukan pekerjaan dalam suatu hubungan kerja yang subordinatif (dengan pengusaha/pemberi kerja/majikan).

Disiplin hukum ini mencakup persoalan-persoalan seperti pengaturan hukum atas kesepakatan/perjanjian kerja, hak dan kewajiban timbal-balik antara buruh/pekerja dan majikan, penetapan dan perlindungan upah, jaminan kerja, kesehatan dan keamanan kerja dalam lingkungan kerja, non-diskriminasi, kesepakatan kerja bersama/kolektif, peran-serta serikat pekerja, hak mogok, dan penyelenggaraan jaminan kesejahteraan bagi pekerja dan keluarga mereka.

                                                     

  1. Hakikat Hukum Perburuhan

Hukum perburuhan itu sendiri memiliki hakikat atau sebuah tujuan yang melampaui pasal-pasal tertulis yang ada. Sejak industrialisasi semakin meningkat di negara-negara Eropa Barat (hal ini sering dikenal dengan revolusi industri), kaum buruh yang “modal” utamanya adalah tenaga dapat dipisahkan dari kaum pemodal yang memiliki uang. Saat pemodal melakukan akumulasi kekayaan (menumpuk modalnya untuk memperluas bisnisnya), ketimpangan kuasa antara pemodal dengan buruh semakin menganga lebar.

Di dalam situasi tersebut, seorang buruh sering kali hampir tidak memiliki kuasa saat ia harus berhadapan dengan pemilik modal. Hal ini mengakibatkan eksploitasi terhadap buruh dapat terjadi dengan mudah, seperti jam kerja yang tidak manusiawi, atau bekerja di bawah kondisi yang membahayakan keselamatan mereka, dan jika mereka menolaknya maka pemilik modal dengan mudah menggantinya dengan buruh lain (easy-hiring,easy-firing).

Otto Kahn Freund menyatakan:

“Timbulnya hukum ketenagakerjaan dikarenakan adanya ketidaksetaraan posisi tawar yang terdapat dalam hubungan kerja (antara tenaga kerja dengan pengusaha) dengan alasan itu pula dapat dilihat, bahwa tujuan utama hukum ketenagakerjaan adalah agar dapat meniadakan ketimpangan hubungan di antara keduanya yang timbul dalam hubungan kerja”

 

  1. Sumber-sumber Hukum dari Hukum Perburuhan

Pembahasan mengenai sumber hukum perburuhan di Indonesia kerap merujuk pada tiga paket UU Perburuhan di Indonesia, yaitu:

  1. UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, yang mengatur hak dan kewajiban pekerja serta pengusaha di dalam hubungan industrial
  2. UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, yang mengatur mengenai hak dan kewajiban serikat pekerja/buruh secara terperinci
  3. UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yang mengatur mengenai proses penyelesaian perkara yang timbul akibat terjadinya perselisihan di dalam hubungan industrial

 

Apakah hubungan industrial di Indonesia diatur hanya oleh tiga paket UU Perburuhan? Jawabannya adalah tidak, karena banyak persoalan didalam hubungan industrial yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan lainnya yang biasanya mengatur hal-hal yang lebih spesifik dengan lebih terperinci, baik yang dikeluarkan sebelum UU No. 13 Tahun 2003, seperti Undang-undang No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja, maupun sesudahnya seperti Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 6 Tahun 2016 mengenai Tunjangan Hari Raya.

 

  1. Hubungan Kerja

Konsep atau pengertian Perjanjian Kerja merupakan landasan dalam hukum perburuhan Indonesia untuk menentukan cakupan legislasi dalam hukum perburuhan. Perlindungan diberikan kepada mereka (buruh) yang menerima dan melakukan pekerjaan atas dasar  perjanjian kerja. Untuk alasan ini pula, maka kita perlu mempelajari seksama pengertian Perjanjian Kerja, yakni sebagai pengantar ke dalam kajian hukum perburuhan Indonesia.

 

  1. Konsep Perjanjian Kerja

Definisi/pengertian

Ketentuan Pasal 50 Undang-undang Ketenagakerjaan menetapkan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Maka dari itu, adanya perjanjian demikian sangatlah esensial. Perjanjian kerja dipahami mencakup tiga elemen inti: pekerjaan, upah, dan otoritas/kewenangan (perintah). Ini berarti bahwa perjanjian kerja adalah suatu kesepakatan dengan mana buruh/ pekerja mengikatkan diri sendiri untuk bekerja di bawah otoritas/ kewenangan majikan dengan menerima pembayaran upah.

Satu aspek penting dari Perjanjian Kerja ialah tidak diwajibkan untuk dituangkan dalam wujud tertulis. Ketentuan Pasal 51 (1) UUK menyatakan bahwa Perjanjian Kerja dapat dibuat secara tertulis maupun lisan. Meskipun demikian, ketentuan Pasal 54 (1) UUK setidak-tidaknya harus mencakup:

  1. Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
  2. Nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja/buruh;
  3. Jabatan atau jenis pekerjaan;
  4. Tempat pekerjaan;
  5. Besarnya upah dan cara pembayarannya;
  6. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
  7. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
  8. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
  9. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

 

  1. Peran dan Fungsi Serikat Pekerja/Buruh

Era kebebasan berserikat dimulai pasca reformasi ditandai dengan diratifikasinya Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat  dan Perlindungan Hak Berorganisasi pada tahun 1999. Dalam bagian menimbang konvensi ini menegaskan bahwa pengakuan atas prinsip kebebasan berserikat merupakan alat untuk meningkatkan kondisi pekerja dan menciptakan ketenangan bagi pekerja/buruh. Serikat pekerja memiliki peranan penting sebagai sarana membangun kolektivitas perjuangan dalam membela dan menyuarakan hak dan kepentingan pekerja untuk memperoleh kesejahteraan. Khususnya ketika serikat pekerja terlibat dalam proses perencanaan kebijakan di dalam forum formal seperti lembaga kerjasama tripartite (LKS Tripartit) yang terdiri dari unsur serikat pekerja, organisasi pengusaha, dan pemerintah baik di tingkat lokal maupun daerah.

Tindak lanjut setelah konvensi ILO No. 87 diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, satu tahun berselang Pemerintah mengesahkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh yang menjadi landasan hukum bagi para pekerja untuk mendirikan organisasi serikat pekerja di tingkat perusahaan maupun diluar perusahaan. Adapun mandat dari dirikannya organisasi serikat pekerja antara lain:

  1. Organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun diluar perusahaan;
  2. Bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab;
  3. Memperjuangkan, membela, serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh;
  4. Meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.

Adapun Perbedaan antara hak pekerja dan hak serikat pekerja antara lain:

Keterangan

Hak Pekerja

Hak Serikat Pekerja

Sifat Hak

Individu

Organisasi/Kolektif

Timbulnya Hak

Setelah Pekerja memiliki Hubungan Kerja dengan pemberi kerja/majikan yang ditandai dengan adanya perjanjian kerja

Setelah organisasi serikat pekerja terbentuk dan terdaftar di Dinas Tenaga Kerja (memiliki nomor pencatatan serikat pekerja/buruh)

Jangka Waktu

Berlaku selama menjadi pekerja yang berada di dalam hubungan kerja

Tidak memiliki batas waktu sepanjang organisasi serikat pekerja/buruh tidak dinyatakan bubar.

 

Penulis: Andriko Otang, Anang Fajar Sidik, Rio Agung Satria, Mohammad Didit Saleh

Trade Union Rights Center

Loading...